Sumber Dasar Hukum Agama Islam

Sumber Dasar Hukum Agama Islam

Di dalam sumber primer ajaran agama islam, yaitu AL-Qur’an dan Hadits secara garis besar terdapat menjadi beberapa ajaran pokok walupun sebetulnya Nabi tidak pernah membagi bagi ajaran agamanya secara konkrit, namun para ulama ahli mengelompokkan ajaran agama Islam sesuai dengan kategorinya untuk mempermudah dalam kajian, agar mudah dipahami.

Pembagian Sumber Ajaran dan Hukum Islam

Sumber ajara Isam ada dua, pertama, sumber ajaran primer berdasarkan Naqli, yaitu Al-Qur’an dan Hadits, berdasarkan dalil dalil berikut:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (QS. An-Nisa’: 105).

“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah memtaati Allah”. (QS. An-Nisa’: 80).

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.

“Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik No 1395).

Kedua, sumber ajaran berdasarkan aqli, yang keberadaannya tidak dicantumkan dalam teks Al-Qur’an dan Hadits, melainkan dirumuskan melalui ijtihad atau analisis pemikiran. Ajaran yang bersifat aqli ini merupakan sumber ajaran sekunder (alternatif) karena faktanya tidak semua ajaran kebaikan atau ilmu Allah tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits, hal ini berdasarkan dalil dalil berikut:

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادَا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا.

“Katakanlah (wahai Muhammad), Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat kalimat (Al-Qur’an) Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum kalimat kalimat (Al-Qur’an) Rabbku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109).

Disamping tidak semua Ilmu Allah Swt tertulis dalam Al-Qur’an, juga tidak semua ajaran yang ada dalam Al-Qur’an disampaikan secara rinci dan jelas, sehingga tidak semua manusia mampu memahaminya. Hal ini berdasarkan:

“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi) nya ada ayat ayat yang muhkamat (jelas), itulah pokok pokok isi Al-Qur’an, dan yang lain (ayat ayat) mutasyabihat (tidak jelas).” (QS. Ali ‘Imran: 7)

Karena tidak semua ilmu Allah tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan persoalan manusia semakin berkembang dan terus muncul persoalan baru, maka solusi penyelesaiannya bagi yang diberi kemampuan dianjurkan untuk menggali ilmu Allah yang masih tersembunyi di dalam Al-Qur’an dan Hadits menggunakan metode Naqli, sedangkan mencari ilmu Allah yang masih tersebar dalam kejadian alam semesta menggunakan metode aqli.

فَاعْتَبِرُوْا يَا أُوْلِي الْأَبْصَارِ.

“Maka ambillah (kejadian kehidupan itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang orang yang mempunyai wawasan.” (QS Al-Hasyr: 2).

Senada dengan firman di atas bahwa tidak semua masalah umat diatur oleh Al-Qur’an dan Hadits, sehingga bila sebuah masalah umat tidak ditemukan dalilnya dalam keduanya, maka dibenarkan bagi ahli agama untuk menggali hukum berdasarkan akalnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ مُعَاذًا اِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِ بِمَا كِتَابِ اللهِ قَالَ فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Bahawa Rasulallah Saw pernah mengutus Mu’adz ke Yaman, lalu beliau bertanya: “Bagaimana engkau memutuskan hukum?” ia menjawab, Aku memutuskan hukum dari apa yang terdapat di dalam kitabullah. Beliau bertanya lagi: “Jika tidak ada di dalam kitabullah?”, ia menjawab dengan Sunnah Rasulallah Saw. beliau bertanya: “Jika tidak terdapat di dalam Sunnah Rasulallah Saw?” ia menjawab, Aku akan berijtihad dengan pendapat (akal) ku. Beliau mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulallah Saw.” (HR. Tirmidzi No 1249).

Namun sayangnya tidak semua manusia diberi kemampuan untuk mengambil hikmah dan pelajaran dalam setiap kejadian hidup. Orang orang dengan maqam (kedudukan) ini diperintahkan bertanya dan meminta bimbingan kepada mereka yang ahli agar tidak salah dan tersesat. Allah Swt berfirman:

فَسْئَلُوْ أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ.

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS An-Nahl: 43)

Dapat disimpulkan bahwa hukum Islam bersumber dari dua hal, pertama sumber Naqli yang bersifat primer, yakni Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dan kedua, hukum Aqli yang bersifat sekunder, yakni berdasarkan hasil pemikiran dari para ahli, meliputi Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istilah, ‘Urf, Sadduz Dzahri’ah, Istishab, Madzhab Shahabi, Syar’u Man Qablana, dan Ilham.

Sumber hukum dalam Islam, ada yang telah disepakati (muttafaq) oleh para ulama dan ada yang masih diperselisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Para ulama juga sepakat dengan urutan dalil dalil tersebut di atas (Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas).

Sedangkan sumber hukum islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama, selain sember hukum yang empat di atas Adalah Istihsan, Istilah, ‘Urf, Sadduz Dzari’ah, Istishab, Madzhab Shahabi, Syar’u Man Qablana, Dan Ilham. 

Berikut penjelasan dari beberapa sumber dasar hukum agama islam:

1. Al-Qur’an

Menurut bahasa berarti “Bacaan” atau “apa yang tertulis padanya”. Al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut: “kalam Allah mengandung mukjizat dan diturunkan secara mutawatir kepada Muhammad, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri An-Nas”. Kehujjahan Al-Qur’an wajib diterima dan diamalkan hanya dalam hal ayat ayat yang muhkamat saja, sedangkan ayat ayat yang mutasyabihat wajib dimauqufkan hingga terdapat dalil penunjang yang dapat menunjukkan makna qath’inya.

2. Hadits 

atau Sunnah, yang menurut bahasa berarti “jalan yang biasa dilalui”. Secara istilah, Sunnah adalah segalla yang diriwayatkan dari Nabi bak perkataan, perbuatan, maupun ketetapan yang sifatnya berkaitan dengan hukum. Tidak semua Hadits diterima sebagai hujjah syariat, karena sebagian Hadits tidak otentik. Jumhur ulama sepakat bahwa Hadits Shahih dan Hadits Hasan saja yang dapat diamalkan, sedangkan Hadits Dhaif masih diperselisihkan.

3. Ijma’

Yaitu kesepakatan mayoritas ulama mujtahid dalam suatu masa setelah wafat Nabi dalam menetapkan hukum Islam yang tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang dialami umat.

4. Qiyas

Yaitu menganalogikan hukum suatu perkara yang baru dala Islam yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan illat, sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.

5. Istihsan

Yang berarti kema’rufan, memandang baik, mencari kebaikan atau yang lebih baik. Istihsan merupakan tindakan mengambil kebijaksanaan hukum berdasarkan suatu alasan hukum yang menghendaki hal itu dilakukan. Contoh: orang tua tidak perlu mengganti harta titipan anaknya yang telah digunakan untuk membiayai hidupnya, karena ia juga mempunyai hak.

6. Istilah

Atau maslahah mursalah, yaitu upaya penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan, dan kebaikan, atau bisa disebut bid’ah hasanah. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang menurut akal mengandung kemaslahatan namun tidak ada aturan konkritnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Contoh: pembukaan Al-Qur’an dan pembukuan Hadits.

7. ‘Urf

Ma’ruf atau adat istiadat, yang menurut bahasa berarti “yang dikenal”. Sedangkan menurut istilah “Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.

Urf dibagi menjadi dua macam, yaitu urf shahih dan urf fasid. Urf shahih adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan dalil syara’ serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban sedangkan Urf fasid adalah sebaliknya. Hukum Islam mengakui adat istiadat masyarakat sebagai sumber hukum, akan tetapi dengan beberapa syarat yaitu: pertama, adat tersebut tidak bertentangan dengan nash atau ijma’. Dan kedua, adat tersebut berlaku umum di dalam masyarakat.

Sumber Dasar Hukum Agama Islam

8. Sadduz Dzari’ah

Yaitu tindakan preventif dengan melarang suatu perbuatan yang menurut hukum syara’ sebenarnya dibolehkan namun melalui ijtihad. Perbuatan tersebut dilarang karena dapat membawa kepada sesuatu yang dilarang ataupun menimbulkan mudarat. Misalnya menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh ke dalamnya.

9. Istishab 

Atau keberlanjutan hukum, yang menurut, yang menurut bahasa adalah “menemani” atau “menyertai”. Menurut Istilah yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim: Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada sejak semula, yaitu tetap berlaku sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah. Imam Al-Syaukani memberi definisi, yaitu “ menetapkan (hukum) sesuatu sepanjang tidak ada yang merubahnya”. Seperti anak kecil tidak boleh bertindak hukum sampai datangnya masa baligh. Atau seseorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya.

10. Madzhab Shahabi

Atau fatwa sahabat Nabi, yaitu pendapat para shabat Nabi tentang suatu kasus yang dikutip oleh para ulama, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sementara itu, tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

11. Syar’u Man Qablana

Atau hukum agama samawi terdahulu, yaitu ajaran para Nabi seperti Ibrahim, Musa, dan Isa sebelum Islam, yang disyariatkan juga kepada umat Islam karena pada dasarnya syariat agama Islam dengan para Nabi sebelumnya adalah satu. Contoh:

“Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana siwajibkan atas orang orang sebelum kamu.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Berarti bahwa puasa ini, sebetulnya, sebelum menjadi syariat Islam, sudah menjadi syariat agama Nabi sebelum Nabi Muhammad, seperti juga khitan, shalat, haji, berkurban, dan lain sebagainya.

12. Ilham

Menurut bahasa Ilham artinya memberitahukan dan menempatkan. Secra istilah adalah sesuatu yang dituangkan ke dalam hati berupa ilmu yang mendorong untuk beramal tanpa petunjuk ayat dan tanpa memperhatikan hujjah. Seperti syariat adzan berasal dari ilham shabat lewat mimpi yang di taqrir oleh Nabi.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel