Pengertian Hadits Shahih Dan Syarat Syaratnya
Kamis, 04 Juni 2020
Edit
Pengertian Hadits Shahih Dan Syarat Syaratnya
Pengertian Hadits Shahih
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut muhadditsin ialah:
مَانَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ.
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung sambung, tiak ber’illat dan tidak janggal. (Musthalahul Hadits).
Syarat Syarat Hadits Shahih
Menurut pengertian dari muhadditsin tersebut, bahwa suatu hadits dapat dinilai shahih apabila memenuhi lima syarat:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak putus
4. Hadits itu tidak ber’illat
5. Tiada janggal
Ibnu Shalah berpendapat, bahwa syarat hadits shahih seperti tersebut diatas, telah disepakati oleh para muhadditsin, hanya saja kalaupun mereka berselisih tentang keshahihan suatu hadits, bukanlah karena syarat syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujudnya atau tidaknya sifat sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian sifat sifat tersebut.
Misalnya Abi Az-Zinad mensyaratkan bagi hadits shahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadits.
Ibnu As-Sam’any mengatakan, bahwa hadits shahih itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang istiqah (adil dan dlabith) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadits yang telah didengarkan dankuat ingatannya.
Abu Hanifah menyaratkan, perawinya harus paham benar.
Ibnu hajar tidak sependapat tentang ketentuan ketentuan syarat syarat hadits shahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama ulama tersebut, sebab syarat syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Abi Az-Zinad itu sudah tercakup dalam persyaratan dlabith, sedang syarat syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any sudah termasuk dalam syarat tidak ber’illat.
Karena dengan diketahuinya bahwa bahwa suatu hadits itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya, adapun syarat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah bahwa perawinya harus paham, itu hanya diperlukan dikala ada perlawanan dengan perawi lain atau dikala menyendiri dengan periwayatan umum.
Menurut Jumhur Al-Muhadditsin, bahwa suatu hadits dinilai shahih, bukanlah karena tergantung pada banyaknya sanad, suatu hadits dinilai shahih cukup kiranya kalau sanadnya atau matannya shahih, kendatipun rawinya itu hanya seorang saja pada tiap tiap thabaqat.
Dalam pada itu, sebagian ahli hadits: Abi ‘Ali Al-Jubbaiy, dan Abu Bakar Ibnu Al-‘Araby, mensyaratkan untuk hadits shahih itu sekurang kurangnya diriwayatkan ole dua orang dalam tiap tiap thabaqat.
Pengertian Hadits Shahih
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut muhadditsin ialah:
مَانَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ.
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung sambung, tiak ber’illat dan tidak janggal. (Musthalahul Hadits).
Syarat Syarat Hadits Shahih
Menurut pengertian dari muhadditsin tersebut, bahwa suatu hadits dapat dinilai shahih apabila memenuhi lima syarat:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak putus
4. Hadits itu tidak ber’illat
5. Tiada janggal
Ibnu Shalah berpendapat, bahwa syarat hadits shahih seperti tersebut diatas, telah disepakati oleh para muhadditsin, hanya saja kalaupun mereka berselisih tentang keshahihan suatu hadits, bukanlah karena syarat syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujudnya atau tidaknya sifat sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian sifat sifat tersebut.
Misalnya Abi Az-Zinad mensyaratkan bagi hadits shahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadits.
Ibnu As-Sam’any mengatakan, bahwa hadits shahih itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang istiqah (adil dan dlabith) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadits yang telah didengarkan dankuat ingatannya.
Abu Hanifah menyaratkan, perawinya harus paham benar.
Ibnu hajar tidak sependapat tentang ketentuan ketentuan syarat syarat hadits shahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama ulama tersebut, sebab syarat syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Abi Az-Zinad itu sudah tercakup dalam persyaratan dlabith, sedang syarat syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any sudah termasuk dalam syarat tidak ber’illat.

Karena dengan diketahuinya bahwa bahwa suatu hadits itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya, adapun syarat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah bahwa perawinya harus paham, itu hanya diperlukan dikala ada perlawanan dengan perawi lain atau dikala menyendiri dengan periwayatan umum.
Menurut Jumhur Al-Muhadditsin, bahwa suatu hadits dinilai shahih, bukanlah karena tergantung pada banyaknya sanad, suatu hadits dinilai shahih cukup kiranya kalau sanadnya atau matannya shahih, kendatipun rawinya itu hanya seorang saja pada tiap tiap thabaqat.
Dalam pada itu, sebagian ahli hadits: Abi ‘Ali Al-Jubbaiy, dan Abu Bakar Ibnu Al-‘Araby, mensyaratkan untuk hadits shahih itu sekurang kurangnya diriwayatkan ole dua orang dalam tiap tiap thabaqat.