Pengertian Hadits Hasan
Jumat, 12 Juni 2020
Edit
Pengertian Hadits Hasan
Para ulama Muhadditsin tidak sependapat dalam menta’rifkan hadits hasan. Perbedaan suatu definisi sudah barang tentu mempunyai efek yang berlain lainan. At-Turmudzy menta’rifkan hadits hasan sebagai berikut:
مَا لَا يَكُوْنُ فِي اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًّا وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ نَحْوِهِ فِي الْمَعْنَى.
Ialah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
Definisi tersebut di atas, tidak mani’ dan tidak jami’. Sebab hadits shahih (yang rawinya sejahtera dari dusta dan maknanya yang bersih dari kejanggalan) dapat tercakup dalam definisi ini. Itulah sebabnya disebut definisi tidak mani’. Demikian juga hadits gharib, walaupun bernilai hasan pada hakikatnya, tidak dapat dimasukkan ke dalam definisi tersebut, karena dalam definisi itu disyaratkan harus mempunyai jalan datangnya berita (sanad) dari beberapa tempat. Itulah sebabnya dikatakan definisi tidak jami’.
Definisi yang jami’ lagi mani’ serta melengkapi segala unsurnya, ialah definisi yang dikemukakan oleh jumhur Al-Muhadditsin sebagai berikut:
مَانَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ.
Hadits yang dinukil oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.
Dengan mengambil definisi ini, maka tampaklah perbedaan yang tegas antara hadits shahih dan hadits dla’if dengan hadits hasan. Demikian juga segala macam hadits ahad (masyhur, ‘aziz, gharib) dapat bernilai hasan, asalkan sudah memenuhi syarat syarat hadits hasan.
Perlu diketahui, perbedaan antara hadits shahih dan hasan itu terletak pada syarat kedlabithan rawi. Yakni pada hadits hasan, kedlabithannya lebih rendah (tidak begitu baik ingatannya), jika dibandingkan dengan hadits shahih. Sedangkan syarat syarat hadits shahih yang lain seperti rawi yang adil, tiada ‘illat, sanadnya bersambung, dan tiada janggal masih diperlukan untuk hadits hasan. Jadi letak pembeda untuk derajat hadits shahih dan hadits hasan ditentukan dari kedlabithan seorang rawinya.
Para ulama Muhadditsin tidak sependapat dalam menta’rifkan hadits hasan. Perbedaan suatu definisi sudah barang tentu mempunyai efek yang berlain lainan. At-Turmudzy menta’rifkan hadits hasan sebagai berikut:
مَا لَا يَكُوْنُ فِي اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًّا وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ نَحْوِهِ فِي الْمَعْنَى.
Ialah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
Definisi tersebut di atas, tidak mani’ dan tidak jami’. Sebab hadits shahih (yang rawinya sejahtera dari dusta dan maknanya yang bersih dari kejanggalan) dapat tercakup dalam definisi ini. Itulah sebabnya disebut definisi tidak mani’. Demikian juga hadits gharib, walaupun bernilai hasan pada hakikatnya, tidak dapat dimasukkan ke dalam definisi tersebut, karena dalam definisi itu disyaratkan harus mempunyai jalan datangnya berita (sanad) dari beberapa tempat. Itulah sebabnya dikatakan definisi tidak jami’.
Definisi yang jami’ lagi mani’ serta melengkapi segala unsurnya, ialah definisi yang dikemukakan oleh jumhur Al-Muhadditsin sebagai berikut:
مَانَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ.
Hadits yang dinukil oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.
Dengan mengambil definisi ini, maka tampaklah perbedaan yang tegas antara hadits shahih dan hadits dla’if dengan hadits hasan. Demikian juga segala macam hadits ahad (masyhur, ‘aziz, gharib) dapat bernilai hasan, asalkan sudah memenuhi syarat syarat hadits hasan.

Perlu diketahui, perbedaan antara hadits shahih dan hasan itu terletak pada syarat kedlabithan rawi. Yakni pada hadits hasan, kedlabithannya lebih rendah (tidak begitu baik ingatannya), jika dibandingkan dengan hadits shahih. Sedangkan syarat syarat hadits shahih yang lain seperti rawi yang adil, tiada ‘illat, sanadnya bersambung, dan tiada janggal masih diperlukan untuk hadits hasan. Jadi letak pembeda untuk derajat hadits shahih dan hadits hasan ditentukan dari kedlabithan seorang rawinya.