Arti Dlabith, Sanad Bersambung, ‘Illat Hadits, Dan Kejanggalan Hadits Dalam Periwayatan Hadits Shahih
Rabu, 10 Juni 2020
Edit
Arti Dlabith, Sanad Bersambung, ‘Illat Hadits, Dan Kejanggalan Hadits Dalam Periwayatan Hadits Shahih
1. Dlabith
Yang dimaksud dengan dlabith ialah orang yang kuat ingatannya, artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepda menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut orang yang dlabithu as-shadri.
Kemudian, kalau apa yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatannya (teksbook) maka disebut orang yang dlabithu Al-Kitab. Para Muhadditsin mensyaratkan dalam mengambil suatu hadits, hendaklah diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat adil lagi dlabith. Rawi yang memiliki kedua sifat tersebut, disebut dengan tsiqah. Orang fasik, ahli bid’ah dan orang yang tidak dikenal kelakuannya, walaupun ia seorang yang kuat ingatannya, tidak dapat diterima periwayatannya. Demikian juga orang pelupa dan banyak keliru, kendtipun ia terkenal orang yang jujur lagi adil, tidak diterima periwayatannya. Sebab sifat sifat seperti fasik, bid’ah, banyak salah, banyak waham,pelupa, lengah, tidak baik hafalan dan jahalah (bodoh), adalah termasuk sifat sifat tercela yang dapat mencacatkan ke-tsiqahan seorang rawi, sehingga karenanya hadits yang mereka riwayatkan adalah dla’if.
Dlabith adalah ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni:
1. Tidak pelupa
2. Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya bila ia memberikan hadits dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan, bila ia meriwayatkan dari kitabnya.
3. Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan menurut maknanya saja.
2. Sanad Bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung-sambung, ialah sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
3. ‘Illat Hadits
‘Illat hadits ialah suatu penyakit yang samar samar, yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (yang gugur salah seorang rawinya) dan sebaliknya. Demikian juga, dapat dianggap suatu ‘Illat hadits, yaitu suatu sisipan yang terdapat pada matan hadits.
4. Kejanggalan Hadits
Kejanggalan suatu hadits itu, terletak kepada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yangdapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yag lebih rajin (kuat) daripadanya, disebabkan denga adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam kedlabithan rawinya atau adanya segi segi tarjih yang lain.
Sebagaimana diterangkan dimuka, bahwa para muhadditsin telah sepakat menetapkan kelima syarat tersebut di atas, bagi hadits shahih. Dalam pada itu, para ushuliyun dan fuqaha tidak mensyaratkan hadits shahih dengan “sunyi dari ‘illat dan sunyi dari kejanggalan”.
1. Dlabith
Yang dimaksud dengan dlabith ialah orang yang kuat ingatannya, artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepda menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut orang yang dlabithu as-shadri.
Kemudian, kalau apa yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatannya (teksbook) maka disebut orang yang dlabithu Al-Kitab. Para Muhadditsin mensyaratkan dalam mengambil suatu hadits, hendaklah diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat adil lagi dlabith. Rawi yang memiliki kedua sifat tersebut, disebut dengan tsiqah. Orang fasik, ahli bid’ah dan orang yang tidak dikenal kelakuannya, walaupun ia seorang yang kuat ingatannya, tidak dapat diterima periwayatannya. Demikian juga orang pelupa dan banyak keliru, kendtipun ia terkenal orang yang jujur lagi adil, tidak diterima periwayatannya. Sebab sifat sifat seperti fasik, bid’ah, banyak salah, banyak waham,pelupa, lengah, tidak baik hafalan dan jahalah (bodoh), adalah termasuk sifat sifat tercela yang dapat mencacatkan ke-tsiqahan seorang rawi, sehingga karenanya hadits yang mereka riwayatkan adalah dla’if.
Dlabith adalah ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni:
1. Tidak pelupa
2. Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya bila ia memberikan hadits dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan, bila ia meriwayatkan dari kitabnya.
3. Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan menurut maknanya saja.
2. Sanad Bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung-sambung, ialah sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
3. ‘Illat Hadits
‘Illat hadits ialah suatu penyakit yang samar samar, yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (yang gugur salah seorang rawinya) dan sebaliknya. Demikian juga, dapat dianggap suatu ‘Illat hadits, yaitu suatu sisipan yang terdapat pada matan hadits.

4. Kejanggalan Hadits
Kejanggalan suatu hadits itu, terletak kepada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yangdapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yag lebih rajin (kuat) daripadanya, disebabkan denga adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam kedlabithan rawinya atau adanya segi segi tarjih yang lain.
Sebagaimana diterangkan dimuka, bahwa para muhadditsin telah sepakat menetapkan kelima syarat tersebut di atas, bagi hadits shahih. Dalam pada itu, para ushuliyun dan fuqaha tidak mensyaratkan hadits shahih dengan “sunyi dari ‘illat dan sunyi dari kejanggalan”.