Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum (Kehujjahan Hadits)
Jumat, 29 Mei 2020
Edit
Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum (Kehujjahan Hadits)
Hampir seluruh umat islam telah sepakat menetapkan Al-Hadits sebagai salah satu undang undang yang wajib ditaati, baik berdasarkan petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al-Qur’an maupun ima’ para sahabat.
1. Menurut Petujuk Akal
Nabi Muhammad Saw adalah rasulallah yang telah diakui dan dibenarkan umat islam. Di dalam melaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hukum hukum syariat kepada umat, kadang kadang beliau membawakan peraturan peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah diterima dari Allah Swt. Dan kadang kdang beliau membawakan peraturan peraturan hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah. Dan tidak jarang pula beliau membawakan hasil ijtihad semata mata mengenai suatu masalah yang tiada ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham. Hasil ijthad beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. Sudah layak sekali kalau peraturan peraturan dan inisiatif inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham, maupun hasil ijtihad beliau, kita tempatkan sebagai sumber hukum positif. Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Allah mengharuskan kepada kita untuk menaati segala peraturan yang dibawanya.
2. Menurut Petunjuk Nash Al-Qur’an
Al-Qur’an telah mewajibkan ittiba’ dan menaati hukum hukum dan peraturan peraturan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, dalam beberapa ayat antara lain:
وَمَا أَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Apa apa yang disampaikan Rasulallah kepadamu, terimalah dan apa apa yang dilarang bagimu tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 07).
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللهِ.
Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (QS. An-Nisa: 64).
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَاقَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ.
Tidak patut bagi seorang Islam laki laki dan perempuan apabila Allah dan Rasula-Nya telah menentapkan suatu menggunakan hak pilihnya. (QS. Al-Ahzab: 36).
3. Ijma’ Shahabat
Para shahabat telah sepakat menetapkan wajibul ittiba’ terhadap AL-Hadits, baik pada masa Rasulallah masih hidup maupun setelah wafat. Diwaktu hayat Rasulallah, para sahabat sama konsekuen melaksanakan hukum hukum Rasulallah mematuhi peraturan peraturan dan meninggalkan larangan larangannya. Sepeninggalan Rasulallah, para sahabat bila tidak menjumpai ketentuan dalam Al-Qur’an tentang sesuatu perkara, mereka sama menanyakan bagaimana ketentuan dalam hadits. Abu Bakar sendiri kalau tidak ingat akan suatu ketentuan dalam hadits Nabi, menanyakan kepada siapa yang masih mengingatnya. Umar dan shahabat lain pun meniru tindakan Abu Bakar tersebut. Tindakan para Khulafaur Rasyidin, tidak ada seorang pun dari sahabat dan tabi’in yang mengingkarinya. Karena hal sedemikian itu merupakan suatu ijma’.
Hampir seluruh umat islam telah sepakat menetapkan Al-Hadits sebagai salah satu undang undang yang wajib ditaati, baik berdasarkan petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al-Qur’an maupun ima’ para sahabat.
1. Menurut Petujuk Akal
Nabi Muhammad Saw adalah rasulallah yang telah diakui dan dibenarkan umat islam. Di dalam melaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hukum hukum syariat kepada umat, kadang kadang beliau membawakan peraturan peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah diterima dari Allah Swt. Dan kadang kdang beliau membawakan peraturan peraturan hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah. Dan tidak jarang pula beliau membawakan hasil ijtihad semata mata mengenai suatu masalah yang tiada ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham. Hasil ijthad beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. Sudah layak sekali kalau peraturan peraturan dan inisiatif inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham, maupun hasil ijtihad beliau, kita tempatkan sebagai sumber hukum positif. Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Allah mengharuskan kepada kita untuk menaati segala peraturan yang dibawanya.
2. Menurut Petunjuk Nash Al-Qur’an
Al-Qur’an telah mewajibkan ittiba’ dan menaati hukum hukum dan peraturan peraturan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, dalam beberapa ayat antara lain:
وَمَا أَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Apa apa yang disampaikan Rasulallah kepadamu, terimalah dan apa apa yang dilarang bagimu tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 07).
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللهِ.
Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (QS. An-Nisa: 64).
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَاقَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ.
Tidak patut bagi seorang Islam laki laki dan perempuan apabila Allah dan Rasula-Nya telah menentapkan suatu menggunakan hak pilihnya. (QS. Al-Ahzab: 36).

3. Ijma’ Shahabat
Para shahabat telah sepakat menetapkan wajibul ittiba’ terhadap AL-Hadits, baik pada masa Rasulallah masih hidup maupun setelah wafat. Diwaktu hayat Rasulallah, para sahabat sama konsekuen melaksanakan hukum hukum Rasulallah mematuhi peraturan peraturan dan meninggalkan larangan larangannya. Sepeninggalan Rasulallah, para sahabat bila tidak menjumpai ketentuan dalam Al-Qur’an tentang sesuatu perkara, mereka sama menanyakan bagaimana ketentuan dalam hadits. Abu Bakar sendiri kalau tidak ingat akan suatu ketentuan dalam hadits Nabi, menanyakan kepada siapa yang masih mengingatnya. Umar dan shahabat lain pun meniru tindakan Abu Bakar tersebut. Tindakan para Khulafaur Rasyidin, tidak ada seorang pun dari sahabat dan tabi’in yang mengingkarinya. Karena hal sedemikian itu merupakan suatu ijma’.